Diposkan pada tentang hati dan warna-warninya

Salut

Sore itu, senja masih diguyur hujan dengan begitu takdzimnya, saat aku duduk di peron stasiun besar kereta api Yogyakarta. Suasana sahaja khas daerah istimewa yang sudah lama tidak kukunjungi ini pun menyelusup hingga ke relung hati. Membuatku merasa damai sekali hingga aku bertemu dengannya.

Seorang Ibu separuh baya duduk menyebelahiku. Saat itu, aku hanya sempat melihat bawaannya banyak lalu aku abai asyik sendiri dengan tas bawaanku.

Ibu itulah yang menjadi pemeran utama catatan ini. Siapa yang menyangka apa yang ia lakukan setelah duduk membuatku ingin menulisnya. Agar aku ingat apa yang kurasa senja kala itu. Agar aku malu jika suatu hari nanti aku tidak mendapati diriku gemar melakukannya kembali.

Dimulai dari ia membuka tas jinjingnya dan dikeluarkannya kaca mata yang beberapa saat kemudian kuperhatikan berpinggiran coklat. Duh Bu, kami sampai lupa saling berkenalan menyebut nama. Tidak mengapalah, yang penting Ibu telah mengajarkanku sesuatu.

Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tebal. Dalam hati aku tepekur, masyaa Allah.. Di usianya, masih ada ternyata yang membekali diri dengan novel sebagai teman perjalanan.

Aku pun begitu saja menyapanya. Berkata Ibu suka baca novel juga ya. Lalu ia pun bercerita bahwa iya, dia suka membawa satu novel kepunyaan anaknya saat bepergian jauh seorang diri. Bosan katanya jika hanya menunggu tanpa ada teman duduk yang mau menyapa seperti aku saat itu. Duh duh, aku tersipu. Hihi..

Buku yang ia pegang pun sama tebalnya kira-kira dengan buku yang baru kubawa pulang dari kawanannya di sebelah sana. Aku pun mulai curiga bahwa buku yang ia baca juga dari pengarang kesukaanku. Dubidam, ternyata iya. Mulailah percakapan kami lebih panjang dari yang kuniatkan. Hihihi..

Tiba di percakapan dimana aku menghabiskan waktu selepas seragam putih abu-abu dulu. Lagi-lagi percakapan pun menjadi lebih panjang karena anaknya hendak ia arahkan melanjutkan menimba ilmunya di kampus teduh itu. Semoga diterima ya Bu 🙂

Asyik sekali mengobrol dengan Ibu yang satu ini. Wawasannya luas. Pemikirannya bijak dan berani. Bagaimana ia mengajarkan anak-anaknya untuk memilih hidup yang ‘prihatin sekarang atau nelangsa kemudian’, mengajarkan anaknya untuk berani protes pada kebijakan senior kampus yang dirasa kurang manusiawi, dan pengalamannya dulu pun juga luar biasa. Bermula dari ia bisa bersekolah di sekolah favorit, diterima PMDK, lalu diterima kerja tanpa sepeser pun uang pelicin di masa getol-getolnya dulu, Jogja, terimakasihku telah memberi senja yang tadinya tenang menjadi menyenangkan. Banyak sekali semangat muncul disela-sela cerita Ibu.

Sayang, pengumuman dari pengeras suara stasiun mencukupkan obrolan kami. Keretaku segera tiba, aku pun beranjak dengan terlebih dulu salim berpamitan kepadanya. Semoga selamat sampai tujuan, Bu. Senang berjumpa denganmu. Semoga keberkahan senantiasa menyertai kemanapun kaki melangkah.

Perjumpaan dengan seorang Ibu dengan sebuah novel di tangannya sempurna membuatku salut. Bahwa usia tidak boleh menjadi alasan untuk enggan membaca. Keren sekali bukan melihat seorang Ibu yang menyempatkan membaca. Mengingat pekerjaan rumah dan kariernya pasti sudah luar biasa.

Salam senang membaca. Salam senang bersahabat seperti membaca dan menulis. Sebab buku selalu bisa menjadi teman duduk terbaik. Karna kamu tidak akan baik menulis tanpa membaca, pun tidak akan betah membaca tanpa ingin menulis maka, berkariblah selalu dengan membaca dan menulis. Perlihatkan kepada dunia apa yang ia butuh untuk tahu, bukan apa yang ia ingin tahu, darimu, ya 🙂 🙂 🙂

-nunnalita, Bumi Batas Kota, 17 Jumadil Akhir 1438 H, ditulis sehari setelah pertemuan kami

Penulis:

Nunnalita, nama penaku. Tidak ada yang istimewa mengenaiku, tiada jua aku berharap akan dikenal karena tulisanku, aku hanya suka menulis. Terimakasih sudah berkunjung ke rumah tulisanku ini. Kesan dan pesan kurindukan. Salam senang menulis :)

Satu tanggapan untuk “Salut

  1. Ya, ada banyak orang istimewa yang tak perlu dikenal. Namanya harum dilangit, meski tak bergema di bumi.

    Semoga makin banyak orang-orang seperti itu.

    Tulisannya enak di baca lo, teduh juga seperti kampus itu, hehe.
    Salam kenal, dah lama ga berkunjung kesini

Tinggalkan Balasan ke Yusri Mathla'ul Anwar Batalkan balasan